Istihsan, Istishab,
Qaul Sahaby dan Syar’u Man Qablana
Makalah Pengantar
Study Islam
Sekolah Tinggi Bunga
Bangsa Cirebon
Editor : Misbah Munir
A.
ISTIHSAN
1.
Pengertian
dan Hakikat Istihsan
Secara harfiyah, istihsan
diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan
menganggapnya kebaikan. (Kamus lisan al-Arab). Menurut
istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai
berikut ini :
a. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya al-mustashfa
juz 1 : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid
menurut akalnya.”
b. Al-Muafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali
berkata, “ istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan
pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunah.”
c. Abu Ishak Asy-Syatibi dalam madzhab
Al-Maliki berkata, “istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang
bersifat juz’i dalam menghadapi dalil yang bersifat global.”
d. Menurut Al-Hasan Al-Hanafi, “istihsan
adalah perbuatan terhadap sesuatu permasalahan hukum dengan memandang hukum
lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan,”
e. Menurut Muhammad Abu Zahrah,” definisi
yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi di atas.”
f.
Sebagian ulama
yang lainnya mengatakan bahwa iastilah istihsan adalah perbuatan adil
dalam hukkum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan
lain-lain.
2. Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para
Ulama
Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah
berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu
pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan
bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab
fiqihya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata
bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum
sebagai mana pendapat imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Bagitu pula menurut Abu
Zahrah, bahwa Imam Maliki serimg berfatwa dengan menggunakan istihsan.
Ulama
Hanabilah
Dalam beberapa kitab
Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan,sebai
mana diaktakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal
al-Mahalli dalam kitab syarh Al-jam’ Al-Jawami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui
oleh Abu Hanafiyah, namun ulama yanng lain mengingkarinya termasuk didalamnya
golongan Hanabilah.
Ulama
Syafi’iyah
Golongan
Al-Syafi’iyah secara msyhur tidak mengakui adanya istihsan,dan mereka
betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkat “ Barang siapa yang
menggunakan istihsan berati ia telah membuat syari’at.” Begitu juga
berkata,” Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang
menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak boleh
menggunakan istihsan.
B. ISTISHAB
1. Pengertian Istishab.
Istishab secara
harfiyah adalah mengakui adanyan hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Ulama Ushul
adalah menetapkan sesuatu
menurutkeadaan sebelumnya samapi terdapat dalil-dalil yang menunjukan perubahan
keadaan, atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau secara
kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan perubahannya.
2. Kehujjahan Istushhab
Istishab adalah
akhir dalil syara’ yang dijadikan tempatkembali bagi para mujtahid untuk
mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata
.’’ Sesungguhnya istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu
mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah di tetapkan baginya selama tidak
terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang
telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mangelola barbagai ketetapan
untuk mereka.
Seorang manusia yang
hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan
kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang
kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya
sampai tedapat dalil yang meniadakannya dan barang siapa mengetahui
ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Istishab juga
telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at, antara lain sebagai
berikut. ”Asal suatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga
terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
اَلْأَصْلُ فِى اْلأَشْياَءِ اَلْإِبَاحَةٌ
Artinya: “ Asal
segala sesuatu ituadalah kebolehan.”
Pendapat
yang dianggap benar adalah istishab bisa dijadikan dalil hukum karena
hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu
tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
3.
Pendapat Ulama
tentang Istishab
Ulama Hanafiyah
menetapkan bahwa istishhab merupakan
hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apap-apa yang dimaksud
mereka. Dengan pernyataan tersebut jekaslah bahwa istishab merupakan
sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishab bukanlah
hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan
tentang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya
dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan
dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukan
kematiannya.
Istishab-lah
yang menunjukan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematiannya
serta warisan harta bendanya juga pencarian pernikahannya. Tetapi hal itu
bukanlah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang
ditetapkan menurut istishab itu
adalah hidup yang didasarkan pengakuan.
C. QAUL
SHAHABY
1.
Keadaan
Para Sahabat Setelah Rosulullah Wafat
Setelah Rasulullah SAW. wafat, tampillah
sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa
kepada umat Islam dan membentuk
hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rosulullah SAW. dan telah memahami
Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai
peristiwa yang bermacam-macam.
2.
Kehujjahan
Qaul
Shahaby dan Pandangan para Ulama
Pendapat sahabat yang
tidak bertentangan dengan sahabat lain dijadikan hujjah oleh umat Islam.
Hal ini karena kesepakatan nmereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan
zaman Rasulullah SAW.
Menurut Abu Hanifah,
perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga
terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka
kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’mereka.
Sedangkan Imam
Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak
dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang
pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk
mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat
ijtihad secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak
terjaga dari dosa).
D. SYARI’AT SEBELUM KITA (SYAR’U MAN
QABLANA)
1.
Hukum
Syari’at Sebelum Kita
Jika Al-Qur’an atau
sunah yang sahih menghasilkan suatu yang telah disyariatkan pada umat yang
dahulu melalui para Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana
diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut
ditunjukan kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman
Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah :183,
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% ö ........
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman telah
diwajiibkan pada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang
sebelum kamu.” (QS . Al-Baqarah : 183)
Sebaliknya,
bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang
terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat
bahwa hukum tersebut tidak di syariatkan kepada kita.
2. Pendapat Para Ulama tentang
Syariat Sebelum Kita
Telah diterangkan di
atas bahwa syariat terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penempatan atau
panghapusan telah disepakati para ulama. Namun yang di perselisihkan adalah
apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil-dalil yang menunjukan bahwa
hal itu diwajibkan pada kita sebagai mana diwajibkan pada mereka. Firman Allah
SWT, dalam surat Al-maidah ayat : 32 :
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºs $oYö;tF2 4n?tã ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) ¼çm¯Rr& `tB @tFs% $G¡øÿtR ÎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù @tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 .....
Artinya :“Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu
hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan
karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia membunuh manusia seluruhnya.” (QS
. Al-Maidah : 32)
Jumhur
Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa
hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan
menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak
terdapat hukum yang me-nasakh-nya. Alasannya, mereka menganggap bahwa
hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang telah di syariatkan melalui
para Rosul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang Mukallaf wajib
mengikutinya. Lebih jauh, Ulama Hanafiyah mengambil dalil bahwa yang dinamakan
pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim
atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan berdasarkan kemutlakan firman
Allah SWT.