Rabu, 19 November 2014

Istihsan, Istishab, Qaul Sahaby dan Syar’u Man Qablana



Istihsan, Istishab, Qaul Sahaby dan Syar’u Man Qablana
Makalah Pengantar Study Islam
Sekolah Tinggi Bunga Bangsa Cirebon
Editor  : Misbah Munir

A.       ISTIHSAN
1.       Pengertian dan Hakikat Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. (Kamus lisan al-Arab). Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut ini :
a.       Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya al-mustashfa juz 1 : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid  menurut akalnya.”
b.       Al-Muafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “ istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunah.”
c.       Abu Ishak Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, “istihsan adalah pengambilan suatu kemaslahatan yang bersifat juz’i dalam menghadapi dalil yang bersifat global.”
d.       Menurut Al-Hasan Al-Hanafi, “istihsan adalah perbuatan terhadap sesuatu permasalahan hukum dengan memandang hukum lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan,”
e.       Menurut Muhammad Abu Zahrah,” definisi yang lebih baik adalah menurut Al-Hasan Al-Kurkhi di atas.”
f.        Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa iastilah istihsan adalah perbuatan adil dalam hukkum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan lain-lain.
2.       Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa kitab fiqihya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat dalam hukum sebagai mana pendapat imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Bagitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Maliki serimg berfatwa dengan menggunakan istihsan.
Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui adanya istihsan,sebai mana diaktakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal al-Mahalli dalam kitab syarh Al-jam’ Al-Jawami’  mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanafiyah, namun ulama yanng lain mengingkarinya termasuk didalamnya golongan Hanabilah.
Ulama Syafi’iyah
Golongan Al-Syafi’iyah secara msyhur tidak mengakui adanya istihsan,dan mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’i berkat “ Barang siapa yang menggunakan istihsan berati ia telah membuat syari’at.” Begitu juga berkata,” Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga dibolehkan menggunakan qiyas, namun tidak boleh menggunakan istihsan.
B.     ISTISHAB
1.       Pengertian Istishab.
Istishab secara harfiyah adalah mengakui adanyan hubungan perkawinan. Sedangkan menurut Ulama Ushul  adalah menetapkan sesuatu menurutkeadaan sebelumnya samapi terdapat dalil-dalil yang menunjukan perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah di tetapkan pada masa lampau secara kekal menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan perubahannya.
2.       Kehujjahan Istushhab
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempatkembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul berkata .’’ Sesungguhnya istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah di tetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mangelola barbagai ketetapan untuk mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai tedapat dalil yang meniadakannya dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Istishab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syari’at, antara lain sebagai berikut. ”Asal suatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:

اَلْأَصْلُ فِى اْلأَشْياَءِ اَلْإِبَاحَةٌ
Artinya: “ Asal segala sesuatu ituadalah kebolehan.”
Pendapat yang dianggap benar adalah istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu tiada lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
3.       Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apap-apa yang dimaksud mereka. Dengan pernyataan tersebut jekaslah bahwa istishab merupakan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukan kematiannya.
Istishab-lah yang menunjukan atas hidupnya orang tersebut dan menolak dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya juga pencarian pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan  menurut istishab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.
C.     QAUL SHAHABY
1.       Keadaan Para Sahabat Setelah Rosulullah Wafat
Setelah Rasulullah SAW. wafat, tampillah sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rosulullah SAW. dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam.
2.       Kehujjahan Qaul Shahaby dan Pandangan para Ulama
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan nmereka terhadap hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’mereka.
Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat mereka adalah pendapat ijtihad secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaga dari dosa).

D.     SYARI’AT SEBELUM KITA (SYAR’U MAN QABLANA)
1.       Hukum Syari’at Sebelum Kita
Jika Al-Qur’an atau sunah yang sahih menghasilkan suatu yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rosul, kemudian nash  tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syari’at tersebut ditunjukan kepada kita. Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah :183,
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% ö ........ 
Artinya  : “Hai orang-orang yang beriman telah diwajiibkan pada kamu semua berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu.” (QS . Al-Baqarah : 183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak di syariatkan kepada kita.
2.       Pendapat Para Ulama tentang Syariat Sebelum Kita
Telah diterangkan di atas bahwa syariat terdahulu yang jelas dalilnya, baik berupa penempatan atau panghapusan telah disepakati para ulama. Namun yang di perselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil-dalil yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagai mana diwajibkan pada mereka. Firman Allah SWT, dalam surat Al-maidah ayat : 32 :
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ÎŽötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 .....
Artinya  :“Oleh karena itu, kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain) atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia membunuh manusia seluruhnya.” (QS . Al-Maidah : 32)
Jumhur Ulama Hanafiyah, sebagian Ulama Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat hukum yang me-nasakh-nya. Alasannya, mereka menganggap bahwa hal itu termasuk diantara hukum-hukum Tuhan yang telah di syariatkan melalui para Rosul-Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-orang Mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh, Ulama Hanafiyah mengambil dalil bahwa yang dinamakan pembunuhan itu adalah umum dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir dzimmi, laki-laki ataupun perempuan berdasarkan kemutlakan firman Allah SWT.