Kamis, 17 Januari 2013

Manusia untuk berfilsafat

Ada 3 hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat:
  1. Keheranan/ kekaguman
      Banyak filsuf menunjukkan rasa heran sebagai asal filsafat. Plato mengatakan: “mata kita memberi pengamatan bintang2, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan iniberasal filsafat (anda bertanya: apa bedanya dengan ilmu pengetahuan?)
  1. Kesangsian
      Agustinus dan Descartes menunjukkan kesangsian sebagai sumber utama pemikiran. Manusia heran, tetapi kemudian ragu2, sangsi. Sikap ini disebut skeptis (Yunani: skepsis: penyelidikan) sangat berguna untuk menemukan suatu titik pangkal yang tak teragukan lagi. Fungsinya sebagai dasar untuk semua pengetahuan lebih lanjut…..
  1. Kesadaran akan keterbatasan
      Manusia mulai berfilsafat kalau ia menyadari betapa lemah dan kecil dirinya dibanding alam semesta di sekelilingnya. Semakin manusia terpukau oleh ketakterhinggaan sekelilingnya, semakin ia heran akan eksistensinya (keberadaan). Semakin jelas saya sendiri atau sesuatu di luar saya kelihatan terbatas, semakin jelas juga bahwa harus ada sesuatu yang tak-terbatas, ketakterhinggaan yang membatasi segala hal. (Ibn Rusyd, mempelajari filsafat itu wajib).
Pendapat lain:
  A. Kekaguman/keheranan
Mula2 orang heran/kagum menyaksikan kehidupannya yang berkaitan dengan persoalan dirinya dan lingkungan sekitarnya.
  B. keingintahuan (curiousity)
Dari itu melakukan permenungan (individual/ kolektif) seperti pandangan hidup dan kata mutiara.
Ciri berfikir filsafat :
  1. Kritis
      Tidak boleh menerima gagasan, konsep, pengertian suatu hal secara begitu saja dan membabi buta (taklidi), tapi secara aktif selalu mempertanyakan terlebih dahulu (terhadap objek apapun).
  1. Radikal
      Radix (inggris) artinya akar, jadi pemikiran filsafat bersifat mengakar, tidak terbatas pada kulit luar masalah, tetapi ditelusuri dan dikaji hingga substansi yang terdalam.
  1. Konseptual
      Pemikiran filsafat merupakan aktivitas akal budi manusia untuk memperoleh pengertian.
  1. Koheren
      Artinya runtut, alur pemikiran yang teratur. Berfikir filsafati dilakukan secara runtut dan logis. Benar tidaknya pemikiran filsafat dilihat dari keruntutan cara berfikirnya.
  1. Rasional
       Pemikiran filsafat harus masuk akal dan dapat dinalar, tidak bersifat khayalan dan irrasional.
  1. Komprehensif
       Artinya menyeluruh. Terhadap objek yang dipikirkannya, filsafat tidak parsial/sepotong2. contoh, mengkaji hakikat manusia, bukan sebatas manusia Jawa, Sunda, Arab, Eropa, tetapi manusia secara keseluruhan.
  1. Sistematis
      Pemikiran filsafat merupakan keterkaitan antar bagian, sehingga membentuk kesatuan pengertian yang utuh dan integral.
ILMU DAN PENGETAHUAN
}  Pengetahuan adalah hasil cerapan indera manusia terhadap semua fenomena di sekitarnya. (produk dari aktivitas indera disebut pengetahuan biasa/knowledge/ commo sense.
}  Dapat dikatakan pengetahuan merupakan hasil tahu, hasil pemahaman atau hasil cerapan indera manusia terhadap hal/sesuatu yang dihadapinya (objek). Objek ini berupa benda-benda fisik-material dan hal-hal spiritual (rohani), yang pemahamannya ,dicapai melalui persepsi, baik indera maupun budi.
PENGETAHUAN ADA 2 MACAM
}  1) Pengetahuan pra-ilmiah (knowledge), adalah hasil cerapan indera manusiai
}  2) Pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan/science), adalah pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu berobjek, bersistem, bermetode dan kebenarannya bersifat universal. Atau pengetahuan biasa hasil cerapan indera manusia terhadap fenomena empirik yang didapatkannya dari objek yang jelas, memakai metode tertentu, dirangkum dalam sebuah sistem dan kebenarannya berlaku umum.
}  Prof Dr. Ashley Montagu, Gubes Antro pada Univ. Rutgers:
}  science is a sistematized knowledge derived from observation, study and experimentation curried on order to (supaya) determine (menentukan) the nature of principles of what being studied.
SYARAT-SYARAT ILMIAH
}  1) objek, baik ilmu dan pengetahuan keduanya punya objek, namun ilmu, selain berobjek materia-sasaran yang dikaji , materi yang diselidiki-, juga berobjek forma yaitu sudut pandang yang digunakan dalam pengkajian tersebut. Objek formallah yang membedakan ilmu satu dengan lainnya. Ex: ilmu kedokteran & psikologi, OM: manusia, OF: kedokteran, segi kesehatan jasmani, psikologi, kesehatan mental.
}  2) metode, adalah cara yang digunakan ilmu untuk mendapatkan kebenaran. Ada banyak metode dalam ilmu, berbeda antara ilmu eksakta dan non-eksakta.
}  3) sistematis, ilmu harus merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, dimana antar bagiannya saling berhubungan, baik interelasi (saling hubungan) atupun interdepedensi (saling tergantung) ex: sistem tubuh
}  4) universal, kebenaran ilmu berlakunya tidak dibatasi ruang, waktu, keadaan dan sikon tertentu.secara menyeluruh berlaku dimana dan kapan pun.
SIFAF KEBENARAN ILMU, FILSAFAT
 DAN AGAMA
}  Kebenaran ilmu bersifat relatif. Artinya dalam kurun waktu tertentu kebenarannya bersifat universal hingga muncul teori lain yang menggugurkannya. Ex: teori geosentris  digantikan teori heliosentris.
}  kebenaran filsafat bersifat spekulatif. Artinya  pendapat filsuf berada diluar kriteria benar atau salah. Dua filsuf yang berbeda pandangan (beda waktu/tidak) tidak dapat diputuskan satu benar dan lainnya salah, keduanya punya peluang sama untuk benar maupun salah, kebenarannya tergantung logis dan rasionalnya argumen yang diajukan.
}  Kebenaran agama bersifat mutlak. Kemutlakan /kepasti benarannya dimungkinkan karena bersangkutan dengan keyakinan pemeluknya dan berasal dari wahyu.
KORELASI AGAMA DAN FILSAFAT
}  1) Pandangan Ibn Rusyd (dalam Fashl maqal)
}  Pandangannya memadukan (akal dan wahyu) keduanya yang dianggap dua kutub yang tidak bisa bertemu menurut Al-Ghazali.
}  Apa hukum mempelajari filsafat?, Ibn Rusyd berkata: kami berkata bila filsafat itu tidak lebih dari pada menalar hal-hal yang ada (wujud) dan merenungkannya sebagai bukti akan adanya pencipta- yaitu dari segi bahwa segala wujud ini adalah ciptaan sehingga merupakan petunjuk adanya pencipta itu setelah diketahui tentang segi penciptaan padanya-maka semakin sempurna pengetahuan itu, semakin sempurna pula pengetahuan tentang pencipta. Karena syara’ telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada, maka jelas pengertian ini menunjukkan bahwa mempelajari filsafat adalah perintah wajib atau perintah anjuran (mandub).
}  Filsafatkan bukan berasal dari islam? bagi Ibn Rusyd, tidak ada salahnya kalau kita melihat orang lain yang sudah melakukannya walaupun mereka tidak seagama dengan kita. Hal itu persis pisau untuk menyembelih hewan, apakah pisau itu milik seorang muslim atau tidak, sama sekali tidak ada implikasi hukum apa-apa. Hanya saja kita harus bersikap kritis analitis terhadap karya mereka. Apabila seluruhnya benar, maka haruslah diterima dan apabila sebaliknya maka haruslah ditolak dan dikritik. Mengenai larangan para ahli yang memenuhi syarat berfilsafat (kecerdasan alami, keadilan menurut syara’, keunggulan ilmiah dan moral) karena khawatir akan menyesatkan orang-orang awam, maka orang yang melarang itu seperti orang yang melarang orang dahaga meminum air jernih dingin sehingga meninggal dengan alasan ada sementara orang yang mati gara-gara meminumnya. Padahal sebenarnya mereka yang mati setelah meminum air dingin itu adalah karena kebetulan saja sedangkan kalau meninggal karena kehausan itulah yang wajar. Ketergelinciran yang dikhawatirkan terjadi pada orang yang berfilsafat, bisa terjadi pada orang lain yang berkiprah di bidang fiqh, toh tidak ada yang melarang orang berkiprah dalam bidang fiqh.
}  2) Penjelasan Ibn Thufail dalam novel filsafatnya berjudul Hayy ibn Yaqzhan.
Isinya pembuktian akan kesesuaian antara kebenaran rasional dan agama.
Ditinggal di pulau terpencil, Hayy hidup sebatang kara diasuh dan disusui oleh seekor rusa. Kematian rusa karena disfungsi jantung yang tiba2 membuatnya menarik kesimpulan bahwa kematian itu terpisahnya jiwa dan raga. Sampai akhirnya sampai kepada pengetahuan tentang wujud mutlak
Di pulau sebelah, hidup dua orang pemuda yakni absal dan salaman, keduanya menganut suatu agama, Absal cenderung pada makna bathin dan Salaman cenderung pada makna lahir.
Suatu hari Absal tiba di pulau Hayy, keduanya berdiskusi dan sampai kepada satu ksimpulan bahwa apa yang termaktub dalam kitab suci mengenai Allah, malaikat, kitab2, rasul2, surga dan neraka merupakan representasi dari istilah2 inderawi-dari kebenaran spiritual yang pernah dialami oleh hayy secara langsung. Begitupun Hayy, apayang diceritakan Absal kepadanya tentang wahyu sesuai dengan apa yang dialaminya.
Kesimpulan, kebenaran bisa dicapai dengan diskursus filosofis dan pencerahan mistik (kasyf)..sedang bagi awam yang tidak mampu mencapainya,pemahaman harfiah kitab sucilah jawabannya tanpa banyak bertanya.


Filsafat Al-Kindi


Filsafat Al-Kindi
Al-Kindi (يعقوب بن اسحاق الكندي) (lahir: 801 - wafat: 873), bisa dikatakan merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam. Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab, ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak karya-karya para filsuf Yunani diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles dan Plotinus. Sayangnya ada sebuah karya Plotinus yang diterjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudulkan Teologi menurut Aristoteles, sehingga di kemudian hari ada sedikit kebingungan.
Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan, dari Irak. Ia berasal dari suku Kindah, hidup di Basra dan meninggal di Bagdad pada tahun 873. Ia merupakan seorang tokoh besar dari bangsa Arab yang menjadi pengikut Aristoteles, yang telah memengaruhi konsep al Kindi dalam berbagai doktrin pemikiran dalam bidang sains dan psikologi.
Al Kindi menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi, aritmatika, musik(yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika, medis, psikologi, meteorologi, dan politik.
Ia membedakan antara intelek aktif dengan intelek pasif yang diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen diskursif dan tindakan demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari kategori-kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi), bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer.
Al Kindi mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna) seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah, dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.
Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
”Al-Kindi adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar di abad pertengahan,” cetus sarjana Italia era Renaissance, Geralomo Cardano (1501-1575). Di mata sejarawan Ibnu Al-Nadim, Al-Kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun mendapuknya sebagai filosof Arab yang paling tangguh.
Ilmuwan kelahiran Kufah, 185 H/801 M itu bernama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin Al-Asy’ats bin Qais Al-Kindi. Ia berasal dari sebuah keluarga pejabat. Keluarganya berasal dari suku Kindah — salah satu suku Arab yang besar di Yaman — sebelum Islam datang. Nenek moyangnya kemudian hijrah ke Kufah.
Ayahnya bernama Ibnu As-Sabah. Sang ayah pernah menduduki jabatan Gubernur Kufah pada era kepemimpinan Al-Mahdi (775-785) dan Harun Arrasyid (786-809). Kakeknya Asy’ats bin Qais kakeknya AL-Kindi dikenal sebagah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW. Bila ditelusuri nasabnya, Al-Kindi merupakan keturunan Ya’rib bin Qathan, raja di wilayah Qindah.
Pendidikan dasar ditempuh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, dia melanjutkan dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, dia sudah dikenal berotak encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani, dan Arab. Sebuah kelebihan yang jarang dimiliki orang pada era itu.
Al-Kindi hidup di era kejayaan Islam Baghdad di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Tak kurang dari lima periode khalifah dilaluinya yakni, Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun (813-833), Al-Mu’tasim, Al-Wasiq (842-847) dan Mutawakil (847-861). Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai ilmu, termasuk kedokteran, membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Khalifah juga mempercayainya untuk berkiprah di Baitulhikmah (House of Wisdom) yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun tutup usia dan digantikan puteranya, Al-Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin diperhitungkan dan mendapatkan peran yang besar. Dia secara khusus diangkat menjadi guru bagi puteranya.
Al-Kindi mampu menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerajaan. Menurut Al-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Baitulhikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antara sederet buah pikirnya dituangkan dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan. Karya-karya yang dihasilkannya menunjukan bahwa Al-Kindi adalah seorang yang berilmu pengetahuan yang luas dan dalam.
Ratusan karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung, musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri sebanyak 32 judul. Filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul. Logika sebanyak sembilan judul dan fisika 12 judul.
Buah pikir yang dihasilkannya begitu berpengaruh terhadap perkembangan peradaban Barat pada abad pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama, karena dialah orang Islam pertama yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga abad ke-7 M, filsafat masih didominasi orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani, namun dia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme. Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah era Khalifah AL-Mu’tasim berakhir dan tampuk kepemimpin beralih ke Al-watiq dan Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Khalifah AL-Mutawakkil kemudian mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Namun, itu tak berlangsung lama.
Ketika Khalifah Al-Mutawakkil tak lagi menggunakan paham Muktazilah sebagai aliran pemikiran resmi kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih ilmuwan lain yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi, perpustakaan pribadinya sempat diambil alih putera-putera Musa. Namun akhirnya Al-Kindiyah – perpustakaan pribadi itu – dikembalikan lagi.
Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunik0[Qʟy`xmemandang filasafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui filsafat-lah, manusia bisa belajar mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama da merupakan sebab dari semua realitas lainnya.
Baginya, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi bertujuan untuk memperkuat agama dan merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
Salah seorang penulis buku tentang studi Islam, Henry Corbin, menggambarkan akhir hayat dari sang filosof Islam. Menurut Corbin, pada tahun 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat itu, Baghdad tengah dikuasai rezim Al-Mu’tamid. Begitu dia meninggal, buku- buku filsafat yang dihasilkannya banyak yang hilang.
Sejarawan Felix Klein-Franke menduga lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan rezim Al-Mutawakkil yang tak senang dengan paham Muktazilah. Selain itu, papar Klein-Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya AL-Kindi akibat ulah serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan kota Baghdad dan Baitulhikmah.
Hingga kini, Al-Kindi tetap dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.
Kitab Pemecah Kode
Sebagai ilmuwan serba bisa, Al-Kindi tak cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat saja. Salah satu karyanya yang termasuk fenomenal adalah Risalah Fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya itu, Al-Kindi memaparkan bagaimana kode-kode rahasia diurai.
Teknik-teknik penguraian kode atau sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab itu. Selain itu, ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia serta menjelaskan ilmu fonetik Arab dan sintaksisnya. Yang paling penting lagi, dalam buku tersebut, A-Kindi mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistika untuk memecahkan kode-kode rahasia.
Kriptografi dikuasainya, lantaran dia pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis empat buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmatika modern. Al-Kindi juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat mendukungnya dalam studi astronomi
Bekerja di bidang sandi-sandi rahasia dan pesan-pesan tersembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi mempertajam nalurinya dalam bidang kriptoanalisa. Ia menjabarkannya dalam sebuah makalah, yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya diterjemahkan sebagai Manuscript on Deciphering Cryptographic Messages. ”Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia, jika kita tahu bahasannya adalah dengan menemukan satu naskah asli yang berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap naskah Pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua, dan seterusnya,” kata Al-Kindi.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi, baru kemudian dilihat kepada teks rahasia yang ingin dipecahkan. Setelah itu dilanjutkan dengan melakukan klasifikasi simbol-simbolnya. ”Di situ kita akan menemukan simbol yang paling sering muncul, lalu ubahlah dengan catatan kejadian satu, dua, dan seterusnya itu, sampai seluruh simbol itu terbaca.”
Teknik itu, kemudian dikenal sebagai analisa frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam kode rahasia, dan menggantikan simbol dengan huruf.
Filsafat Al-Kindi
Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mulia. Filsafatnya tentang keesaan Tuhan selain didasarkan pada wahyu juga proposisi filosofis. Menurut dia, Tuhan tak mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah atau aniyah (sebagian) maupun hakikat kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi, Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan adalah yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal. AL-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak. Bukan keesaan metaforis yang hanya berlaku pada obyek-obyek yang dapat ditangkap indera.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan Zat-Nya. Jiwa atau roh adalah salah satu pembahasan Al-Kindi. Ia juga merupakan filosof Muslim pertama yang membahas hakikat roh secara terperinci.
Al-Kindi membagi roh atau jiwa ke dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah, dan daya berpikir. Menurutnya, daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal mejadi tiga, yakni akal yang bersifat potensial, akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi aktual, dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial, papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya`qub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Isma`il ibn Muhammad ibn al-Asy’ath ibn Qais al-Kindi. Tahun kelahiran dan kematian al-Kindi tidak diketahui secara jelas. Yang dapat dipastikan tentang hal ini adalah bahwa ia hidup pada masa kekhalifahan al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842), al-Wathiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).

Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan memang, sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya, ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu’tasim, Ahmad.
Ia adalah filosof berbangsa Arab dan dipandang sebagai filosof Muslim pertama. Memang, secara etnis, al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Al-Kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi.
Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat Pitagoras.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.