Minggu, 16 Desember 2012

REFLEKSI HISTORIS


PENDIDIKAN ISLAM DAN KEMAJUAN SAINS:
REFLEKSI HISTORIS DALAM MILENIUM III

Pendidikan Islam mempunyai sejarah yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, tempat Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan usaha-usaha pendidikan—untuk tidak menyebut sistem—merupakan transformasi besar. Sebab, masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem pendidikan formal.
Pada masa awal perkembangan Islam, tentu saja, pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan mi pun lebih berkaitan dengan upaya-upaya dakwah islamiah—penyebaran dan penanaman dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah dapat dipahami kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah sahabat Nabi SAW tertentu; yang paling terkenal adalah Dâr al-Arqam. Namun, ketika masyarakat Islam sudah terbentuk, maka pendidikan diselenggarakan di mas)id. Proses pendidikan pada kedua tempat mi dilakukan dalam alaqah—lingkaran belajar.
Pendidikan formal Islam baru muncul pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah. Secara tradisional, sejarawan pendidikan Islam, seperti Munir ud-Din Ahmed, George Makdisi, Ahmad Syalabi, dan Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama kali didirikan oleh Wazir Nizham al-Mulk pada 1064; madrasah mi kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizham al-Mulk. Tetapi penelitian lebih akhir, misalnya yang dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi madrasah-madrasah lebih tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada sekitar tahun 400/1009 terdapat Madrasah alBayhaqiyyah yang didirikan Abu Hasan Au al-Bayhaqi (w. 414/1023).
Bulliet bahkan lebih jauh menyebut 39 madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah (Bulliet, 1972: 48); yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abu lshaq Ibrahim ibn Mahmud di Nishapur. Pendapat mi didukung sejarawan pendidikan Islam, Naji Ma’ruf, yang menyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan Madrasah Nizhamiyah (Ma’ruf, 1973: 8). Selanjutnya, al-Hasan Abd. al-’Al mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi (berkuasa 388-421/998-1030) juga terdapat Madrasah Sa’idiyah (al-’Al, 1977: 210).


Stanton menyebut madrasah sebagai “the institution of higher learning”—lembaga keilmuan (pendidikan) tinggi. Jika mi diartikan sama dengan “universitas” sebagai universitas litterarum atau universitas magistrorum—yakni lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar—maka pandangan itu agaknya keliru. Lebih jauh lagi, dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih dikenal dengan nama al-jãmi’ah, yang tentu saja secara historis dan kelembagaan berkaitan dengan masjid jâmi’—masjid besar tempat berkumpul jamaah untuk menunaikan shalat Jumat. Al-Jdmi’ah yang muncul paling awal dengan pretensi Sebagai “lembaga pendidikan tinggi” adalah al-Azhar di Kairo, Mesir, Zaitunah di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez. Tetapi, lagi-lagi al-jârni’ah mi yang diakuinya banyak kalangan Barat sekalipun sebagai “universitas-universitas” tertua di muka bumi, setidaknya sampai dilakukannya pembaruan dalam beberapa dasawarsa silam—lebih tepat disebut sebagai “madrasah tinggi” ketimbang “universitas”
Namun penting dicatat, lembaga-lembaga pendidikan Islam, apakah madrasah—sekalipun menyelenggarakan “advanced education”— ataupun al-jâmi’ah yang memang dimaksudkan sebagai lembaga pen.didikan tinggi. tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar, sebagaimana terdapat di Eropa pada masa modern. Bahkan universitas di Eropa yang akar-akarnya dapat dilacak dan aljâmi’ah—seperti ditegaskan Stanton berdasarkan penelitian Makdisi  (1981 dan 1990)—sampai abad ke-18 juga tak bebas sepenuhnya; universitas Eropa abad pertengahan bahkan pada umumnya berafihiasi dengan atau attached (terkait) kepada gereja.
Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah maupun al-jâmi’ah diabdikan terutama kepada al- ‘ult2m al-Islâmiyyah atau tepatnya ult2m aldIniyyah—ilmu-ilmu agama, dengan penekanan khusus pada bidang fikih, tafsir, dan hadis Nabi. Meski ilmu-ilmu seperti mi juga memberikan ruang gerak kepada akal untuk melakukan ijtihad, setidaknya pada masa-masa kiasik, jelas ijtihad di situ bukan dimaksudkan berpikir sebebas-bebasnya. Ijtihad di sini bahkan lebih bermakna, atau pada praktiknya, sekadar memberikan penafsiran “baru” atau pemikiran “independen” yang tepat berada dalam kerangka atau prinsipprinsip doktrin yang mapan dan disepakati.
Dengan demikian, ilmu-ilmu “non-agama” atau “keduniaan” (profan) khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta—yang merupakan akar-akar pengembangan sains dan teknologi—sejak awal perkembangan madrasah dan al-jâmi’ah sudah berada dalam posisi yang marjinal. Meski Islam pada dasarnya tidak membedakan nilai ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu non-agama (ilmu-ilmu umum), tetapi dalam praktiknya, supremasi lebih diberikan kepada ilmu-ilmu agama. mi disebabkan sikap keagamaan dan kesalehan yang memandang ilmuilmu agama sebagai “jalan tol” menuju Tuhan.
Memang sebelum kehancuran aliran teologi Mu’tazilah pada masa Khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun (198-218/813-33), mempelajari ilmu-ilmu umum—yang bertitik tolak dan nalar dan kajian-kajian empiris—bukan sesuatu yang tidak ada sama sekali dalam kurikulum madrasah. Tetapi dengan “pemakzulan”—untuk tidak menyatakan “pengharaman” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu-ilmu umum yang sangat dicurigai itu dihapuskan dan kurikulum madrasah; mereka yang cenderung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa mempelajari secara sendiri-sendiri, atau bahkan “di bawah tanah’ karena mereka dipandang sebagai ilmuilmu “subversif” yang dapat dan akan menggugat kemapanan doktrin Sunni, terutama dalam bidang kalâm (teologi) dan fikih.
Dengan demikian, jika pada sebelum Khalifah al-Ma’mun, sains— untuk tidak sekaligus menyebut “teknologi”—mencapai puncak kemajuannya, hampir bisa dipastikan, itu bukan muncul dan madrasah. Kemajuan sains itu lebih merupakan hasil pengembangan dan peneli— tian individu-individu ilmuwan Muslim yang didorong semangat “sdent fic inquiry” (penyelidikan ilmiah) guna membuktikan kebenaran ajaran-ajaran al-Qur’an, termasuk yang bersifat “kauniyah’ Memang terdapat beberapa madrasah al-thibb (kedokteran), seperti dikemukakan Faruqi dan Faruqi dalam The Cultural Atlas of Islam (1986: 324-5). Tetapi madrasah kedokteran mi tidak dapat mengembangkan ilmu kedokteran dengan bebas, karena sering digugat pada ahli fikih (fuqahà) yang, misalnya, tidak memperkenankan penggunaan organ-organ mayat sekalipun dibedah untuk diselidiki. Hal yang sama juga terjadi pada rumah sakit-rumah sakit riset yang terdapat di Baghdad dan Kairo. Rumah sakit riset yang didatangi mahasiswa itu pada akhirnya terpaksa berkonsentrasi pada ilmu kedokteraan teoretis dan perawatan.
Karena itu, tak heran kalau Stanton tidak berhasil membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga pendidikan tinggi Islam dan kemajuan berbagai cabang sains dalam peradaban Islam. Bahkan Makdisi yang men ghabiskan hampir seluruh energi dan usianya untuk meneliti sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan cara begitu canggih dan terperinci, juga tidak bicara tentang kaitan antara madrasah— yang disejajarkannya dan “college” (strata I dalam sistem pendidkan Indonesia sekarang)—dengan kemajuan sains di masa Dinasti Abbasiyah. mi tidak aneh, karena kurikulum seluruh madrasah yang ditelitinya sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama, yang dalam klasifikasi ilmu sekarang mi termasuk ke dalam humaniora (humanities). Sama dengan Makdisi, Seyyed Hossein Nasr dalam Islamic Science: An Illustrated Study, yang merupakan salah satu magnum opus-nya juga gagal menjelaskan peranan madrasah dalam kemajuan sains Islam. Hanya terdapat beberapa madrasah, khususnya di Persia, yang mengajarkan beberapa bidang ilmu yang diharamkan pada madrasah-madrasah Sunni, seperti filsafat dan ilmu pasti sampai pada masa-masa lebih belakang (Nasr, 1976: 17-19).
Kenapa legalisme fikih atau syariah bisa begitu dominan terhaclap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Pertama, berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian syariah dan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti disinggung sebelumnya. Kedua secara institusional lembaga-lembaga pendidikan Islam dikuasai mereka yang ahli dalam bidang-bidang agama. Mereka bahkan berhasil membangun struktur akademis yang cukup canggih dan elaborate. Karena itu, dalam kelembagaan madrasah yang baik, misalnya, terdapat masysyakhat al-Qur’ân (professorship—kegurubesarafl al-Qur’an), masysyakhat al-HadIts, masysyakhat al-nahw, dan sebagainya. Sebaliknya, tidak dikenal, misalnya masysyakhat al-kimiyya, masysyakhat al-thibb, dan seterusnya dalam struktur akademis madrasah. Lebih jauh, sebagai sebuah kelompok fungsional, para fukaha terbentuk menjadi kelompok cukup padu karena dukungan institusional lembaga-lembaga pendidikan itu sendin, sehingga siap menangkis kemunculan—yang dipandang sebagai tantangan—kaum ilmuwan (saintis) Muslim yang tidak mempunyai dukungan institusional; mereka yang disebut terakhir mi terorganisasi hanya sebagai kelompok-kelompok informal yang sangat longgar, misalnya dalam Dâr al-’Ilm (Akademi Sains). Karena itulah, para saintis Muslim tidak berdaya menghadapi kaum fukaha yang mengklaim legitimasi religius sebagai the guardian of Gods given law.
Faktor ketiga berkenaan dengan kenyataan, bahwa hampir seluruh madrasah atau al-jâmi’ah didinikan dan dipertahankan dengan dana wakaf, baik dan dermawan kaya atau penguasa politik Muslim. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan kaya untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam lapangan ilmu-ilmu agama yang dipandang akan lebih mendatangkan banyak pahala, ketimbang ilmu-ilmu umum yang mempunyai aura “profan”—dan karena itu tak terkait begitu jelas dengan soal pahala. Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena didorong kepentingan politik tertentu atau motivasi murni untuk menegakkan “ortodoksi” Sunni, Se- ring mendikte madrasah al-jàmi’ah untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi” itu sendiri, tegasnya dalam kerangka syariah.









ETOS KERJA DALAM ISLAM


ETOS KERJA DALAM ISLAM

A. Pendahuluan
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal. Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tidak lepas dari kaitan iman seseorang. Idealnya, semakin tinggi iman itu maka semangat kerjanya juga tidak rendah. Ungkapan iman sendiri berkaitan tidak hanya dengan hal-hal spiritual tetapi juga program aksi.
Artikel ini sendiri akan melihat pertama, kerja sebagai manifestasi program mewujudkan tujuan hidup di muka bumi yakni mencari Ridha Allah dengan mewujudkan diri sebagai khalifah di muka bumi. Kedua, karakteristik pekerjaan di masa datang yang diperlukan umat Islam.
B. Manifestasi Mencari Ridha Allah
Sebenarnya umat Islam termasuk beruntung karena semua pedoman dan panduan sudah terkodifikasi. Kini tinggal bagaimana menterjemahkan dan menerapkan dalam kegiatan sehari-hari. Jika kita pandang dari sudut bahwa tujuan hidup itu mencari Ridha Allah SWT maka apapun yang dikerjakannya, apakah di rumah, di kantor, di ruang kelas, di perpustakaan, di ruang penelitian ataupun dalam kegiatan kemasyarakatan, takkan lepas dari kerangka tersebut, artinya: setiap pekerjaan yang kita lakukan, dilaksanakan dengan sadar dalam kerangka pencapaian Ridha Allah. Cara melihat seperti ini akan memberi dampak, misalnya, dalam kesungguhan menghadapi pekerjaan. Jika seseorang sudah meyakini bahwa Allah SWT sebagai tujuan akhir hidupnya maka apa yang dilakukannya di dunia tak dijalankan dengan sembarangan. Ia akan mencari kesempurnaan dalam mendekati kepada Al Haq. Ia akan mengoptimalkan seluruh kapasitas dan kemampuan inderawi yang berada pada dirinya dalam rangka mengaktualisasikan tujuan kehidupannya. Ini bisa berarti bahwa dalam bekerja ia akan sungguh-sungguh karena bagi dirinya bekerja tidak lain adalah ibadah, pengabdian kepada Yang Maha Esa. Lebih seksama lagi, ia akan bekerja – dalam bahasa populernya – secara profesional.
 Apa sebenarnya profesional itu ? Dalam khasanah Islam mungkin bisa dikaitkan dengan padanan kata ihsan. Setiap manusia, seperti diungkapkan Al- Qur’an, diperintahkan untuk berbuat ihsan agar dicintai Allah. Kata Ihsan sendiri merupakan salah satu pilar disamping kata Iman dan Islam. Dalam pengertian yang sederhana, ihsan berarti kita beribadah kepada Allah seolah-olah Ia melihat kita. Jikalau kita memang tidak bisa melihat-Nya, tetapi pada kenyataannya Allah menyaksikan setiap perbuatan dan desir kalbu kita. Ihsan adalah perbuatan baik dalam pengertian sebaik mungkin atau secara optimal.
Hal itu tercermin dalam Hadis Riwayat Muslim yang menuturkan sabda Rasulullah SAW : Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu. Karena itu jika kamu membunuh, maka berihsanlah dalam membunuh itu dan jika kamu menyembelih, maka berihsanlan dalam menyembelih itu dan hendaknya seseorang menajamkan pisaunya dan menenangkan binatang sembelihannya itu.
Menurut Nurcholis Madjid, dari konteks hadis itu dapat disimpulkan bahwa ihsan berarti optimalisasi hasil kerja dengan jalan melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin, bahkan sesempurna mungkin. “Penajaman pisau untuk menyembelih” itu merupakan isyarat efisiensi dan daya guna yang setinggi-tingginya. Allah sendiri mewajibkan ihsan atas segala sesuatu seperti tercermin dalam Al Qur’an. Yang membuat baik, sebaik-baiknya segala sesuatu yang diciptakan-Nya. (32:7).
Selanjutnya Allah juga menyatakan telah melakukan ihsan kepada manusia, kemudian agar manusia pun melakukan ihsan. Dan carilah apa yang dianugerahkan kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dunia, dan berbuat ihsanlah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (28:77).
Dari keterangan hadis dan uraian Al Qur’an jelaslah bahwa setiap Muslim harus menjadi seorang pekerja yang profesional. Dengan demikian ia melaksanakan salah satu perintah Allah untuk berbuat ihsan dan juga mensyukuri karunia Allah berupa kekuatan akal dan fisiknya yang diberikan sebagai bekal dalam bekerja. Mengabaikan potensi akal dan fisik ini atau tidak “menajamkannya” bisa bermakna tidak mensyukuri nikmat dan karunia Ilahi Rabbi.
C. Karakteristik pekerjaan mendatang
Berbagai trend telah memperlihatkan bahwa bentuk pekerjaan mendatang tidak hanya mengandalkan fisik tetapi juga otak. Al Qur’an dalam berbagai ayat sudah mengajak manusia untuk berpikir, membandingkan dan menggunakan akal dalam menghayati kehidupan dan mengarungi samudera kehidupan. Peter Drucker, salah seorang pakar manajemen, tahun 1960-an sudah memperingatkan akan datangnya “Knowledge Society”.
Dalam masyarakat jenis ini banyak bentuk kegiatan ekonomi dan pekerjaan dilakukan berdasarkan kepadatan pengetahuan. Ia memberi contoh mengetik. Dulunya dengan memencet tuts orang bisa membuat kalimat, tetapi sekarang dengan adanya komputer sebelum memencet tuts harus dimiliki serangkaian pengetahuan cara bekerja perangkat lunaknya.

Pakar manajemen lainnya seperti Charles Handy, Michael Hammer atau Gary Hamel ataupun futurolog seperti John Naisbit dan Alvin Tovler sudah meramalkan jauh-jauh hari akan datangnya jenis pekerjaan otak ini. Dalam ungkapan Handy, aset sebuah organisasi tidak lagi terletak pada properti atau benda-benda fisik lainnya tetapi pada sumber daya manusia. Dan inti dari sumber daya manusia itupun adalah otaknya.
Sebenarnya kalau kita cermat, Al Quran sudah mengisyaratkan akan lahirnya masyarakat pengetahuan itu dengan ungkapan di ayat pertama, Iqra. Hanya tinggal manifestasi saja bagaimana Iqra itu menjadi jalan kehidupan umat Islam, bukan sebagai jargon yang yang dilafalkan.Membumikan istilah Iqra itulah merupakan tantangan umat Islam sehingga tidak ketinggalan dalam budaya masyarakat pengetahuan.
Mengutip istilah Deputi PM Anwar Ibrahim, umat Islam itu harus mampu menyumbangkan bagi peradaban yang hidup di dunia, sejajar dengan peradaban lainnya. Dengan demikian etos kerja harus merupakan bagian dari tradisi umat Islam, bukan tradisi masyarakat lain.
Sering muncul pernyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki etos kerja yang rendah. Secara sosiologis kita harus mengakui bahwa umat Islam merupakan bagian terbesar dari bangsa ini. Bertolak dari realita ini, umat Islam Indonesia dengan ajaran Islamnya merupakan kelompok yang pertama kali bertanggungjawab terhadap pembinaan dan pengembangan etos kerja bangsa tercinta.
Etos kerja yang rendah ini, ber-implikasi menempatkan umat Islam dalam ekonomi. Kelompok terbesar dari bangsa ini sering dikalahkan dalam bidang ekonomi oleh kelompok minoritas tanpa rnelalui perebutan kekuasaan, tetapi cukup melalui solidaritas antara sesama mereka. Untuk melakukan perbaikan ekonomi ini, etos kerja yang tinggj perlu dimiliki, seperti peningkatan sumber daya manusia.

Padahal Rasulullah yang menjadi tokoh sentral umat Islam adalah seorang pengemban amanah yang luar biasa universal dan multikomplek. Beliau seorang pemimpin negara, Kepala rumah tangga, narasumber dari berbagai permasalahan umat, seorang pengusaha, Abdul yatama (bapak dari banyak anak asuh) dll. Seluruh amanah tersebut sangat mustahil dapat terselesaikan tanpa didukung dengan etos kerja yang baik. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja Islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi contoh bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya.


D.  Konsep Kerja dalam Islam
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 105)
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (al-Qur’an Surat Ar-Ra’du ayat 11). “dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.  (al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 39).
Kemuliaan seorang manusia itu bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta patut untuk diberi perhatian.  Amalan atau pekerjaan yang demikian selain memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di akhirat kelak, apakah masuk golongan ahli surga atau sebaliknya. Istilah ‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu, muslim mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan berupaya maksimal dalam melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan menjadi orang yang terbaik dalam
setiap bidang yang ditekuninya. Ada dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar prestasi kerja meningkat dan kerjapun bernilai ibadah.
1. Kerja Ikhlas : Betapa banyak para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dengan tekun, cerdas, gigih dan penuh tanggungjawab namun jauh dari nilai-nilai keikhlasan akhirnya menjadi petaka. Bekerja dengan dilandasi keikhlasan adalah suatu keharusan agar materi dari hasil kerja didapat sementara pahala diraih. Sesuai dengan doa yang seringkali dibaca ‘fiddunya hasanah wafil akhiroti hasana…”Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 105)
2. Kerja keras dan cerdas : Ukuran kerja keras adalah kesempatan berbuat, tanpa pamrih, bekerja maksimal dan Kepasifan dalam menghadapi pekerjaan membatasi seseorang tidak berusaha meningkatkan kemampuan profesionalismenya. Profesionalisme biasanya dijadikan ukuran dalam peningkatan prestasi di setiap pekerjaan. Dalam mengerjakan sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin
Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (al-Qur’an Surat Ar-Ra’du ayat 11).  
 dan bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”.  (al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 39).
Dengan kata lain, orang yang berkerja adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain.  Oleh karena itu, kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an bukanlah orang yang mempunyai  pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai manajer,  direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya.  Tetapi sebaliknya Al-Quran menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah) itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya.
Golongan ini mungkin terdiri dari pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap.  Sifat-sifat di ataslah  sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan seseorang di dunia dan di akhirat kelak.   Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
E.   Etos Kerja Rasulullah sebagai uswah (contoh)
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Dalam kisah lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.” (HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Kisah di awal menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini “rela” mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya. Ada lima  peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu :
1. Sebagai Rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
2.  Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik “negara-negara sahabat”. Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
3. Sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
4. Sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap  para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
5. Sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan “terpikatnya” konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh.
F.   Kesimpulan
Bekerja adalah manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya
            Seorang muslim dalam mengerjakan sesuatu selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau seoptimal mungkin. Allah mewajibkan atas segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya“. (QS. As-Sajdah ayat 7).
Selain itu muslim pun dalam dianjurkan mengerjakan sesuatu secara sungguh-sungguh dan teliti sehingga rapi, indah, tertib dan bersesuaian dengan yang lain dari bagian-bagiannya. Allah SWT berfirman, “Seni ciptaan Allah yang membuat dengan teliti (atqana) segala sesuatu” (QS. An-Naml ayat 88).