PENDIDIKAN ISLAM DAN KEMAJUAN SAINS:
REFLEKSI HISTORIS DALAM MILENIUM III
Pendidikan Islam mempunyai sejarah
yang panjang. Dalam pengertian seluas-luasnya, pendidikan Islam berkembang seiring
dengan kemunculan Islam itu sendiri. Dalam konteks masyarakat Arab, tempat
Islam lahir dan pertama kali berkembang, kedatangan Islam lengkap dengan
usaha-usaha pendidikan—untuk tidak menyebut sistem—merupakan transformasi
besar. Sebab, masyarakat Arab pra-Islam pada dasarnya tidak mempunyai sistem
pendidikan formal.
Pada masa awal perkembangan Islam,
tentu saja, pendidikan formal yang sistematis belum terselenggara. Pendidikan
yang berlangsung dapat dikatakan umumnya bersifat informal; dan mi pun lebih
berkaitan dengan upaya-upaya dakwah islamiah—penyebaran dan penanaman
dasar-dasar kepercayaan dan ibadah Islam. Dalam kaitan itulah dapat dipahami
kenapa proses pendidikan Islam pertama kali berlangsung di rumah sahabat Nabi
SAW tertentu; yang paling terkenal adalah Dâr al-Arqam. Namun, ketika
masyarakat Islam sudah terbentuk, maka pendidikan diselenggarakan di mas)id.
Proses pendidikan pada kedua tempat mi dilakukan dalam alaqah—lingkaran
belajar.
Pendidikan formal Islam baru muncul
pada masa lebih belakangan, yakni dengan kebangkitan madrasah. Secara
tradisional, sejarawan pendidikan Islam, seperti Munir ud-Din Ahmed, George
Makdisi, Ahmad Syalabi, dan Michael Stanton menganggap, bahwa madrasah pertama
kali didirikan oleh Wazir Nizham al-Mulk pada 1064; madrasah mi kemudian
terkenal sebagai Madrasah Nizham al-Mulk. Tetapi penelitian lebih akhir,
misalnya yang dilakukan Richard Bulliet mengungkapkan eksistensi
madrasah-madrasah lebih tua di kawasan Nishapur, Iran. Pada sekitar tahun
400/1009 terdapat Madrasah alBayhaqiyyah yang didirikan Abu Hasan Au al-Bayhaqi
(w. 414/1023).
Bulliet bahkan lebih jauh menyebut 39
madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah
Nizhamiyah (Bulliet, 1972: 48); yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang
didirikan Abu lshaq Ibrahim ibn Mahmud di Nishapur. Pendapat mi didukung
sejarawan pendidikan Islam, Naji Ma’ruf, yang menyatakan bahwa di Khurasan
telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan Madrasah Nizhamiyah
(Ma’ruf, 1973: 8). Selanjutnya, al-Hasan Abd. al-’Al mengemukakan, pada masa
Sultan Mahmud al-Ghaznawi (berkuasa 388-421/998-1030) juga terdapat Madrasah
Sa’idiyah (al-’Al, 1977: 210).
Stanton menyebut madrasah sebagai “the
institution of higher learning”—lembaga keilmuan (pendidikan) tinggi. Jika mi
diartikan sama dengan “universitas” sebagai universitas litterarum atau
universitas magistrorum—yakni lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan
penyelidikan bebas berdasarkan nalar—maka pandangan itu agaknya keliru. Lebih
jauh lagi, dalam tradisi pendidikan Islam, institusi pendidikan tinggi lebih
dikenal dengan nama al-jãmi’ah, yang tentu saja secara historis dan kelembagaan
berkaitan dengan masjid jâmi’—masjid besar tempat berkumpul jamaah untuk
menunaikan shalat Jumat. Al-Jdmi’ah yang muncul paling awal dengan pretensi
Sebagai “lembaga pendidikan tinggi” adalah al-Azhar di Kairo, Mesir, Zaitunah
di Tunis, dan Qarawiyyin di Fez. Tetapi, lagi-lagi al-jârni’ah mi yang
diakuinya banyak kalangan Barat sekalipun sebagai “universitas-universitas”
tertua di muka bumi, setidaknya sampai dilakukannya pembaruan dalam beberapa
dasawarsa silam—lebih tepat disebut sebagai “madrasah tinggi” ketimbang
“universitas”
Namun penting dicatat, lembaga-lembaga
pendidikan Islam, apakah madrasah—sekalipun menyelenggarakan “advanced
education”— ataupun al-jâmi’ah yang memang dimaksudkan sebagai lembaga
pen.didikan tinggi. tidak pernah menjadi universitas yang difungsikan
semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar,
sebagaimana terdapat di Eropa pada masa modern. Bahkan universitas di Eropa
yang akar-akarnya dapat dilacak dan aljâmi’ah—seperti ditegaskan Stanton
berdasarkan penelitian Makdisi (1981 dan
1990)—sampai abad ke-18 juga tak bebas sepenuhnya; universitas Eropa abad pertengahan
bahkan pada umumnya berafihiasi dengan atau attached (terkait) kepada gereja.
Sepanjang sejarah Islam, baik madrasah
maupun al-jâmi’ah diabdikan terutama kepada al- ‘ult2m al-Islâmiyyah atau
tepatnya ult2m aldIniyyah—ilmu-ilmu agama, dengan penekanan khusus pada bidang
fikih, tafsir, dan hadis Nabi. Meski ilmu-ilmu seperti mi juga memberikan ruang
gerak kepada akal untuk melakukan ijtihad, setidaknya pada masa-masa kiasik,
jelas ijtihad di situ bukan dimaksudkan berpikir sebebas-bebasnya. Ijtihad di
sini bahkan lebih bermakna, atau pada praktiknya, sekadar memberikan penafsiran
“baru” atau pemikiran “independen” yang tepat berada dalam kerangka atau
prinsipprinsip doktrin yang mapan dan disepakati.
Dengan demikian, ilmu-ilmu “non-agama”
atau “keduniaan” (profan) khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta—yang merupakan
akar-akar pengembangan sains dan teknologi—sejak awal perkembangan madrasah dan
al-jâmi’ah sudah berada dalam posisi yang marjinal. Meski Islam pada dasarnya
tidak membedakan nilai ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu non-agama (ilmu-ilmu
umum), tetapi dalam praktiknya, supremasi lebih diberikan kepada ilmu-ilmu
agama. mi disebabkan sikap keagamaan dan kesalehan yang memandang ilmuilmu
agama sebagai “jalan tol” menuju Tuhan.
Memang sebelum kehancuran aliran teologi Mu’tazilah pada
masa Khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun (198-218/813-33), mempelajari ilmu-ilmu
umum—yang bertitik tolak dan nalar dan kajian-kajian empiris—bukan sesuatu yang
tidak ada sama sekali dalam kurikulum madrasah. Tetapi dengan “pemakzulan”—untuk
tidak menyatakan “pengharaman” penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu’tazilah,
ilmu-ilmu umum yang sangat dicurigai itu dihapuskan dan kurikulum madrasah;
mereka yang cenderung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa
mempelajari secara sendiri-sendiri, atau bahkan “di bawah tanah’ karena mereka
dipandang sebagai ilmuilmu “subversif” yang dapat dan akan menggugat kemapanan
doktrin Sunni, terutama dalam bidang kalâm (teologi) dan fikih.
Dengan demikian, jika pada sebelum
Khalifah al-Ma’mun, sains— untuk tidak sekaligus menyebut “teknologi”—mencapai
puncak kemajuannya, hampir bisa dipastikan, itu bukan muncul dan madrasah.
Kemajuan sains itu lebih merupakan hasil pengembangan dan peneli— tian
individu-individu ilmuwan Muslim yang didorong semangat “sdent fic inquiry”
(penyelidikan ilmiah) guna membuktikan kebenaran ajaran-ajaran al-Qur’an,
termasuk yang bersifat “kauniyah’ Memang terdapat beberapa madrasah al-thibb
(kedokteran), seperti dikemukakan Faruqi dan Faruqi dalam The Cultural Atlas of
Islam (1986: 324-5). Tetapi madrasah kedokteran mi tidak dapat mengembangkan
ilmu kedokteran dengan bebas, karena sering digugat pada ahli fikih (fuqahà)
yang, misalnya, tidak memperkenankan penggunaan organ-organ mayat sekalipun
dibedah untuk diselidiki. Hal yang sama juga terjadi pada rumah sakit-rumah
sakit riset yang terdapat di Baghdad dan Kairo. Rumah sakit riset yang
didatangi mahasiswa itu pada akhirnya terpaksa berkonsentrasi pada ilmu
kedokteraan teoretis dan perawatan.
Karena itu, tak heran kalau Stanton tidak berhasil
membuktikan kaitan yang jelas antara lembaga pendidikan tinggi Islam dan
kemajuan berbagai cabang sains dalam peradaban Islam. Bahkan Makdisi yang men
ghabiskan hampir seluruh energi dan usianya untuk meneliti sejarah lembaga-lembaga
pendidikan Islam dengan cara begitu canggih dan terperinci, juga tidak bicara
tentang kaitan antara madrasah— yang disejajarkannya dan “college” (strata I
dalam sistem pendidkan Indonesia sekarang)—dengan kemajuan sains di masa
Dinasti Abbasiyah. mi tidak aneh, karena kurikulum seluruh madrasah yang
ditelitinya sepenuhnya bermuatan ilmu-ilmu agama, yang dalam klasifikasi ilmu
sekarang mi termasuk ke dalam humaniora (humanities). Sama dengan Makdisi,
Seyyed Hossein Nasr dalam Islamic Science: An Illustrated Study, yang merupakan
salah satu magnum opus-nya juga gagal menjelaskan peranan madrasah dalam
kemajuan sains Islam. Hanya terdapat beberapa madrasah, khususnya di Persia,
yang mengajarkan beberapa bidang ilmu yang diharamkan pada madrasah-madrasah
Sunni, seperti filsafat dan ilmu pasti sampai pada masa-masa lebih belakang
(Nasr, 1976: 17-19).
Kenapa legalisme fikih atau syariah bisa
begitu dominan terhaclap lembaga-lembaga pendidikan Islam? Pertama, berkaitan
dengan pandangan tentang ketinggian syariah dan ilmu-ilmu keislaman lainnya,
seperti disinggung sebelumnya. Kedua secara institusional lembaga-lembaga
pendidikan Islam dikuasai mereka yang ahli dalam bidang-bidang agama. Mereka
bahkan berhasil membangun struktur akademis yang cukup canggih dan elaborate.
Karena itu, dalam kelembagaan madrasah yang baik, misalnya, terdapat
masysyakhat al-Qur’ân (professorship—kegurubesarafl al-Qur’an), masysyakhat
al-HadIts, masysyakhat al-nahw, dan sebagainya. Sebaliknya, tidak dikenal,
misalnya masysyakhat al-kimiyya, masysyakhat al-thibb, dan seterusnya dalam
struktur akademis madrasah. Lebih jauh, sebagai sebuah kelompok fungsional,
para fukaha terbentuk menjadi kelompok cukup padu karena dukungan institusional
lembaga-lembaga pendidikan itu sendin, sehingga siap menangkis kemunculan—yang
dipandang sebagai tantangan—kaum ilmuwan (saintis) Muslim yang tidak mempunyai
dukungan institusional; mereka yang disebut terakhir mi terorganisasi hanya
sebagai kelompok-kelompok informal yang sangat longgar, misalnya dalam Dâr
al-’Ilm (Akademi Sains). Karena itulah, para saintis Muslim tidak berdaya
menghadapi kaum fukaha yang mengklaim legitimasi religius sebagai the guardian
of Gods given law.
Faktor ketiga berkenaan dengan
kenyataan, bahwa hampir seluruh madrasah atau al-jâmi’ah didinikan dan
dipertahankan dengan dana wakaf, baik dan dermawan kaya atau penguasa politik
Muslim. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan kaya untuk mengarahkan
madrasah bergerak dalam lapangan ilmu-ilmu agama yang dipandang akan lebih
mendatangkan banyak pahala, ketimbang ilmu-ilmu umum yang mempunyai aura
“profan”—dan karena itu tak terkait begitu jelas dengan soal pahala. Pada pihak
lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah, apakah karena
didorong kepentingan politik tertentu atau motivasi murni untuk menegakkan
“ortodoksi” Sunni, Se- ring mendikte madrasah al-jàmi’ah untuk tetap berada
dalam kerangka “ortodoksi” itu sendiri, tegasnya dalam kerangka syariah.